Hiasan naga putih di atas jembatan sungai Amandit (Hamandit) Kandangan
Powered By Blogger

Rabu, 27 Juni 2012

PANJAT ENAU : OLAH RAGA TRADISIONAL DARI KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN


Festival Budaya Banjar kembali digelar di kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Berbagai olahraga tradisional ditampilkan, salah satunya tradisi masyarakat Kandangan, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan yakni menaiki pohon enau. Olahraga yang membutuhkan kemahiran dan keberanian tersebut ternyata sangat menghibur masyarakat.

Festival Budaya Banjar yang digelar di halaman kantor Gubernur Kalimantan Selatan kali ini terasa cukup meriah dibanding sebelumnya. Pasalnya dalam festival tersebut, selain ditampilkan berbagai lomba unik dan menarik juga ditampilkan tradisi keseharian masyarakat pedalaman yang dikemas menjadi cabang olahraga tradisional yakni menaiki enau.

Olahraga tradisional yang berasal dari Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan ini dimainkan oleh dua tim, yang satu timnya terdiri dari 3 orang. Para peserta berlari dan langsung menaiki enau yang dibuat dari tiang bambu, sambil membawa penampung air bambu untuk diletakkan diatas enau.

Selanjutnya para peserta kembali memanjat untuk memasukan air kedalam tempat penampungan tadi. Para peserta terlihat sangat lincah dalam memanjat maupun turun dari batang bambu. Setelah air terisi penuh diatas enau, para peserta kembali mengambil air untuk dikumpulkan. Nanang, salah satu peserta panjat enau berharap agar kebiasaan masyarakat pendalaman pencari air enau yang kini telah dibentuk menjadi olahraga tradisional akan terus dilestarikan.

Sabtu, 05 Mei 2012

MASUKNYA ISLAM DI KALIMANTAN SELATAN


Barangkali sumber yang cukup tua menyebutkan bahwa Kalimantan pada periode menjelang masuknya Islam di Kalimantan ialah Negara Kartagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca tahun 1365 ini telah menyebut daerah Kalimantan Selatan yang diketahui ialah daerah sepanjang sungai Negara, sungai Barito dan sekitarnya.
Situasi politik di daerah Kalimantan Selatan menjelang Islam banyak diketahui dari sumber historiografi tradisional yakni Hikayat Lambung Mangkurat atau Hikayat Banjar. Sumber tersebut memberitahukan bahwa di daerah Kalimantan Selatan telah berdiri kerajaan yang bercorak Hindu Negara Dipa yang berlokasi sekitar Amuntai dan kemudian dilanjutkan dengan Negara Daha sekitar Negara sekarang.
Menjelang datangnya Islam ke daerah Kalimantan Selatan kerajaan yang bercorak Hindu telah berpindah dari Negara Dipa ke Negara Daha diperintah oleh Maharaja Sukarama, mertua Ratu Lemak. Setelah dia meninggal dia digantikan oleh Pangeran Tumenggung yang menimbulkan sengketa dengan Pangeran Samudera cucu Maharaja Sukarama, yang dilihat dari segi institusi kerajaan mempunyai hak mewarisi tahta kerajaan. Dengan demikian Negara Daha adalah benteng terakhir dari institusi kerajaan bercorak Hindu dan setelah itu digantikan dengan institusi bercorak Islam.
Sunan Giri sangat besar terhadap perkembangan kerajaan Islam Demak. Sunan Girilah yang memberikan gelar Sultan kepada raja Demak. Dalam hal ini sangat menarik perhatian hubungan antara Sunan Giri dengan daerah Kalimantan Selatan. Dalam Hikayat Lambung Mangkurat diceritakan tentang Raden Sekar Sungsang dari Negara Dipa yang lari ke Jawa. Ketika dia masih kecil kelakuannya menjengkelkan ibunya Puteri Kaburangan, yang juga dikenal sebagai Puteri Kalungsu. Waktu dia kecil karena sering mengganggu ibunya, dia dipukul di kepalanya dan mengeluarkan darah. Sejak itu dia lari dan ikut dengan juragan Petinggi atau Juragan Balaba yang berasal dari Surabaya. Juragan Balaba memeliharanya sebagai anaknya sendiri dan setelah dewasa dia dikawinkan dengan puteri Juragan Balaba sendiri. Dia mempunyai dua orang putera Raden Panji Sekar dan Raden Panji Dekar. Keduanya berguru pada Sunan Giri, Raden Sekar kemudian diambil menjadi menantu Sunan Giri dan kemudian bergelar Sunan Serabut. Raden Sekar Sungsang kemudian kembali menjalankan perdagangan sampai ke Negara Dipa. Dengan penampilan yang tampan Raden Sekar Sungsang adalah seorang pedagang dari Jawa, yang banyak mengadakan hubungan perdagangan dengan pihak kerajaan Negara Dipa. Akhirnya dia kawin dengan Puteri Kalungsu penguasa Negara Dipa, yang sebetulnya adalah ibunya sendiri. Setelah Puteri Kalungsu hamil barulah terungkap bahwa suaminya adalah anaknya yang dulu hilang. Mereka bercerai, Raden Sekar Sungsang memindahkan pemerintahannya menjadi Negara Daha, yang berlokasi sekitar Negara sekarang, sedangkan Ibunya tetap di Negara Dipa sekitar Amuntai sekarang. Raden Sekar Sungsang yang menurunkan Raden Samudera yang menjadi Sultan Suriansyah raja pertama dari Kerajaan Banjar.
Raden Sekar Sungsang Menjadi raja pertama dari Negara Daha dengan gelar Maharaja Sari Kaburangan. Selama dia berkuasa hubungan dengan Giri tetap terjalin dengan pembayaran upeti tiap tahun.Yang menjadi masalah adalah, kalau Raden Sekar Sungsang selama di Jawa kawin dengan melahirkan putera Raden Panji Sekar selanjutnya menjadi menantu Sunan Giri, adalah hal mungkin sekali bahwa Raden Sekar Sungsang juga telah memeluk agama Islam. Raden Panji Sekar menjadi seorang ulama yang bergelar Sunan Serabut, adalah hal yang wajar kalau ayahnya sendiri Raden Sekar Sungsang telah memeluk agama Islam meskipun keimanannya belum kuat. Kalau anggapan ini benar maka Raden Sekar Sungsang raja dari Negara Daha dari Kerajaan Hindu yang telah beragama Islam pertama sebelum Sultan Suriansyah.
Kalau benar bahwa Raden Sekar Sungsang yang bergelar Sari Kaburangan telah beragama Islam, mengapa dia tidak menyebarkan Islam itu pada rakyatnya. Hal ini terdapat beberapa kemungkinan. Kemungkinannya antara lain bahwa agama Hindu masih terlalu kuat, sehingga lebih baik menyembunyikan ke Islamannya, atau memang keimanannya belum kuat. Tetapi yang dapat disimpulkan bahwa Islam telah menyelusup di daerah Negara Daha Kalimantan Selatan, sekitar abad ke 13-14 Masehi.
A.A. Cense dalam bukunya “De Kroniek van Banjarmasin”, menjelaskan bahwa ketika Pangeran Samudera berperang melawan pamannya Pangeran Tumenggung raja Negara Daha. Pangeran Samudera menghadapi bahaya yang berat yaitu kelaparan di kalangan pengikutnya. Atas usul Patih Masih Pangeran Samudera meminta bantuan pada Kerajaan Islam Demak yang saat itu kerajaan terkuat setelah Majapahit. Patih Balit diutus menghadap Sultan Demak dengan 400 pengiring dan 10 buah kapal. Patih Balit menghadap Sultan Tranggana dengan membawa sepucuk surat dari Pangeran Samudera. F.S.A. De Clereq dalam bukunya. De Vroegste Geschiedenis van Banjarmasin (1877) halaman 264 memuat isi surat Pangeran Samudera itu. Surat itu tertulis dalam bahasa Banjar dalam huruf Arab-Melayu. Isi surat itu adalah : “Salam sembah putera andika Pangeran di Banjarmasin datang kepada Sultan Demak. Putera andika menantu nugraha minta tolong bantuan tandingan lawan sampean kerana putera andika berebut kerajaan lawan parnah mamarina yaitu namanya Pangeran Tumenggung. Tiada dua-dua putera andika yaitu masuk mengula pada andika maka persembahan putera andika intan 10 biji, pekat 1.000 galung, tudung 1.000 buah, damar 1.000 kandi, jeranang 10 pikul dan lilin 10 pikul”. Yang menarik dari surat ini adalah bahwa surat itu tertulis dalam huruf Arab. Kalau huruf Arab sudah dikenal oleh Pangeran Samudera, adalah jelas menunjukkan bukti bahwa masyarakat Islam sudah lama terbentuk di Banjarmasin. Terbentuknya masyarakat Islam dan lahirnya kepandaian membaca dan menulis huruf Arab memerlukan waktu yang cukup lama. Kalau Kerajaan Islam Banjar terbentuknya pada permulaan abad ke- 16, maka dapatlah diambil kesimpulan bahwa masyarakat Islam di Banjarmasin sudah terbentuk pada abad ke- 15. Karena itulah masuknya agama Islam ke Kalimantan Selatan setidak-tidaknya terjadi pada permulaan abad ke- 15.
Perdagangan sangat ramai setelah bandar pindah ke Banjarmasin. Disini dapat pula kita lihat perbedaan perekonomian antara Negara Daha dan Banjarmasin. Negara Daha menitik beratkan pada ekonomi pertanian sedangkan Banjarmasin menitik beratkan pada perekonomian perdagangan. Hubungan itu terutama adalah hubungan ekonomi perdagangan dan akhirnya meningkat menjadi hubungan bantuan militer ketika Pangeran Samudera berhadapan dengan Raja Daha Pangeran Tumenggung.
Pangeran Samudera adalah cikal bakal raja-raja Banjarmasin. Dia adalah cucu Maharaja Sukarama dari Negara Daha. Pangeran Samudera terpaksa melarikan diri demi keselamatan dirinya dari ancaman pembunuhan pamannya Pangeran Tumenggung raja terakhir dari Negara Daha. Patih Masih adalah Kepala dari orang-orang Melayu atau Oloh Masih dalam Bahasa Ngaju. Sebagai seorang Patih atau kepala suku, tidaklah berlebihan kalau dia sangat memahami situasi politik Negara Daha, apalagi juga dia mengetahui tentang kewajiban sebagai daerah takluk dari Negara Daha, dengan berbagai upeti dan pajak yang harus diserahkan ke Negara Daha. Patih Masih mengadakan pertemuan dengan Patih Balit, Patih Muhur, Patih Balitung, Patih Kuwin untuk mencari jalan agar jangan terus-menerus desa mereka menjadi desa. Mereka sepakat mencari Pangeran Samudera cucu Maharaja Sukarama yang menurut sumber berita sedang bersembunyi di daerah Balandean, Serapat, karena Pangeran Tumenggung yang sekarang Menjadi raja di Negara Daha pamannya sendiri ingin membunuh Pangeran Samudera.
Pangeran Samudera dirajakan di kerajaan baru Banjar setelah berhasil merebut bandar Muara Bahan, bandar dari Negara Daha dan memindahkan bandar tersebut ke Banjar dengan para pedagang dan penduduknya. Bagi Pangeran Tumenggung sebagai raja Negara Daha, hal ini berarti suatu pemberontakan yang tidak dapat dimaafkan dan harus dihancurkan, perang tidak dapat dihindarkan lagi. Pangeran Tumenggung kalah, mundur dan bertahan di muara sungai Amandit.
Dalam perjalanan sejarah raja-raja di Kalimantan Selatan, bila diteliti dengan seksama nampak bahwa pergantian raja-raja dari Negara Daha sampai Banjarmasin dari :
1. Maharaja Sari Kaburangan/Raden Sekar Sungsang
2. Maharaja Sukarama
3. Pangeran Mangkubumi/Raden Manteri
4. Pangeran Tumenggung
5. Pangeran Samudera
Bukan pergantian yang lumrah dari ayah kepada anak tapi dari tangan musuh yang satu ketangan musuh yang lain, melalui revolusi istana. Raden Sekar Sungsang usurpator pertama adalah pembangunan dinasti Hindu Negara Daha, dan Pangeran Samudera usurpator kedua adalah pembangun dinasti Islam Banjarmasin.

Kamis, 22 Maret 2012

DATU NAGA NINGKURUNGAN LOKSINAGA AMANDIT KANDANGAN

Di sebuah desa di Kalimantan Selatan tinggallah sebuah keluarga yaitu seorang suami, istri dan anaknya. Pekerjaan mereka sehari-hari adalah bertani. Mereka bertiga hidup dari hasil bertani dan selalu mengerjakan lahan mereka dengan tekun dan rajin. Sehingga mereka selalu berkecukupan. Mereka hidup dan tinggal di daerah yang disebut dengan nama Lukloa atau Loksinaga yaitu suatu perkampungan yang tepatnya terletak di Kandangan ( Kabupaten Hulu Sungai Selatan ).
Pada suatu hari, kedua petani tersebut mencari ikan di batang Amandit ( sungai Amandit ) sebagai lauk untuk makan pada hari itu. Peralatan yang digunakan untuk mencari atau menangkap ikan tersebut adalah tangguk ( alat penangkap ikan yang terbuat dari bambu yang dipotong kecil-kecil dan disusun sedemikian rupa ).
Setelah sekian lama mencari ikan di batang tersebut, tidak ada satu ekor ikan pun yang masuk ke dalam tangguk mereka. Mereka hampir putus asa dengan keadaan tersebut. Tetapi kemudian sang suami mendapatkan sebiji telur besar, dengan senangnya dia bergegas menghampiri istrinya dan sambil memperlihatkan telur yang diperoleh kepada istrinya, “Istriku sayang… coba lihat apa yang aku bawa ini.” Sang istri langsung menoleh ke arah suaminya. “apa itu suamiku, telur apa itu ?”. Karena rasa curiganya dan was-was, sang istri justru menyarankan agar telur tersebut dibuang. “Kenapa harus dibuang istriku, ini nanti kan bisa untuk lauk kita?” Hari kan sudah semakin siang kita belum mendapatkan ikan untuk lauk makan hari ini. Apa tidak kasihan dengan anak kita, makan tanpa lauk karena kita belum mendapatkan ikan? “Sudahlah suamiku, buang saja telur itu, kita kan tidak tau asal usulnya telur itu”. Walau dengan berat hati dan perasaan kecewa, tapi demi sang istri telur tersebut akhirnya dibuang oleh sang suami ke arah hulu sungai Amandit.
“Sudahlah suamiku, ayo kita teruskan untuk mencari ikan, siapa tau Tuhan memberikan rizki untuk kita”. “Baiklah istriku, ayo kita teruskan mencari ikannya, mudah-mudahan Tuhan mengabulkannya”. Petani tersebut kembali melanjutkan mencari ikan dengan tangguknya dan berharap segera mendapatkan ikan untuk dimakan pada hari itu. Namun ternyata usaha mereka sia-sia belaka, tidak ada satu ekor ikan pun yang mereka dapatkan di hari itu. Tapi anehnya telur yang tadinya dibuang kembali lagi masuk ke dalam tangguk mereka. Berkali-kali telur itu dibuang, tetap saja telur itu masuk kembali ke tangguknya. Karena hari sudah mulai siang dan ikan tidak juga didapat, maka akhirnya mereka memutuskan membawa telur tesebut ke rumah untuk dimakan sebagai pengganti ikan.
Dalam perjalanan pulang menuju rumah, sambil berbincang-bincang sang suami menjelaskan kepada sang istri kalau dia tak perlu risau tidak mendapatkan ikan, karena mereka sudah mendapatkan telur sebagai pengganti ikan dan inilah rejeki mereka pada hari ini. Setelah sampai di rumah telur pun dimasak oleh sang istri untuk dijadikan lauk saat makan nanti.
Pada waktu makan bersama, sang istri dan anaknya tidak mau memakan telur yang tadinya dimasak karena takut dengan keadaan telur yang berbeda dari telur biasanya. Telurnya berukuran besar sehingga menimbulkan perasaan yang tidak nyaman dari sang istri. Saat sang istri memasak telur perasaannya selalu tidak enak. Daripada tidak ada yang mau memakan telur yang tadinya dimasak, maka sang suami itu sendiri yang memakannya. Usai memakan telur tersebut sang suami merasa kenyang. Tidak berapa lama kemudian tiba-tiba timbul rasa gatal-gatal disekujur tubuhnya dan dari kulit sang suami itu muncul sisik-sisik yang menyerupai seperti sisik naga.
Lama-kelamaan sang suami berubah menjadi seekor naga yang berwarna putih dan semakin hari sang naga semakin bertambah besar. Akibat dari perubahan sang suami yang menjadi seekor naga, sang istri dan anaknya merasa tidak nyaman dengan keadaan itu. Kemudian naga tersebut diturunkan ke tanah melalui tangga dari dua buah batang pinang muda yang dibuatkan oleh keluarganya dan sampai kesebuah parit kecil.
Sang naga kemudian melakukan perjalanan ke hilir sungai Amandit. Ternyata di dasar sungai Amandit ini sang naga mendapatkan liang ( lubang besar ) dan kerena kelelahan setelah melakukan perjalanan, maka sang naga memutuskan untuk beristirahat dan tertidur di dalam liang yang baru ditemukannya tersebut. Padahal, liang yang ditempati oleh sang naga Putih tersebut merupakan tempat tinggal dari seekor naga yang berwarna Habang ( merah ) yang tadinya pergi mencari makan.
Ketika naga Habang kembali, dia sangat terkejut karena di dalam liangnya sudah terdapat seekor naga yang berwarna Putih. Keadaan itu membuat naga Habang menjadi marah. Kedatangan naga Habang ke dalam liangnya, membuat naga Putih terkejut sehingga terbangun dari tidurnya.
Naga Habang tidak bisa menerima karena liangnya ditempati oleh naga Putih sehingga terjadilah sebuah perkelahian yang sangat hebat. Namun perkelahian ini tidak seimbang karena naga Putih tidak mempunyai taring seperti naga Habang. Perkelahian ini akhirnya dimenangkan oleh naga Habang. Kekalahan ini membuat naga Putih harus meninggalkan liang yang baru didapatnya. Sang naga Putih kembali ke hulu menemui istrinya dan mengadukan perihal kekalahannya dalam perkelahian melawan naga Habang di liang yang baru ditemukannya. Untuk merebut kembali liang yang ditemukan oleh naga Putih tersebut, dia disarankan oleh sang istri agar memasang pisau yang tajam dikiri dan kanan mulutnya agar menyerupai sepasang taring milik naga Habang. Saran ini disetujui oleh naga Putih dan meminta kepada istrinya untuk membantu memasangkan pisau tersebut ke kiri dan kanan mulutnya sebagaimana yang disarankan oleh sang istri.
Setelah pisau terpasang, dengan senang dan semangat naga Putih kembali menuju ke liang untuk menuntut balas atas kekalahannya kepada naga Habang. Mereka kembali melakukan perkelahian, pada perkelahian kali ini naga Habang mengalami luka disekujur tubuhnya akibat taring buatan ( pisau ) yang dimiliki oleh naga Putih, sehingga naga Habang dapat dikalahkan oleh naga Putih. Karena banyaknya luka yang dialami oleh naga Habang, sehingga dia tewas di tangan naga Putih. Akibat banyaknya darah yang dikeluarkan oleh naga Habang pada saat perkelahian, seketika itu pula air sungai berubah menjadi merah berkilauan akibat darah yang dikeluarkan dari tubuh naga Habang dan memantulkan cahaya beraneka ragam warna yang indah merona di langit senja.
Setelah pertarungan usai, sang naga Putih bergegas kembali menuju ke hulu sungai Amandit untuk memberikan kabar gembira kepada sang istri. “Istriku sayang, aku datang membawa berita gembira”. “Kabar apa suamiku, kelihatannya gembira sekali ?” “Bagaimana tidak gembira, aku ternyata bisa mengalahkan si naga Habang itu. Ini semua berkat ide yang kau berikan serta doa tulus yang selalu kau berikan untukku. Aku merasa yakin bahwa kesetiaan dan cinta sucimu tetap seperti dulu. Meskipun aku telah berubah wujud menjadi seekor naga putih. Aku telah dapat mengalahkan naga Habang bahkan membuat naga Habang tewas. Sang istri juga ikut merasa bahagia atas kemenangan yang didapat oleh sang suami ( naga Putih ). Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, karena sang suami menyadari kalau mereka tidak mungkin bersatu dan hidup bersama lagi. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan wujud diantara mereka.
Derai air mata dan isak tangis diantara mereka tidak bisa dibendung lagi. Sebagai tanda kecintaan dan kesetiaan naga Putih terhadap anak dan istrinya, ia meninggalkan pesan terlebih dahulu kepada keduanya. Pesan tersebut adalah “apabila merasa rindu dan ingin bertemu kepadaku ( naga Putih ), maka akan turunlah hujan, setelah itu panas, kemudian rintik dan pada akhirnya muncul pelangi. Selagi masih ada pelangi di angkasa, itu tandanya aku masih hidup dan cinta suciku selalu untuk kalian. Dan mulai saat ini, panggillah aku ( naga Putih ) dengan sebutan Balahindang”. Balahindang kemudian kembali ke liangnya ke dasar sungai Amandit dan bersemayam disana untuk selama-lamanya.
Demikianlah kisah tentang kedua petani yang pada akhirnya terpisah karena keadaan mereka. Walaupun cerita ini berbau mistis, tapi kejadian kisah ini diyakini oleh sebagian masyarakat Kandangan, khususnya orang-orang tua yang berada di daerah Lukloa, di aliran sungai Amandit, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan.

ASAL USUL BANUA LIMA DI HULU SUNGAI

Suku Dayak yang tersebar di Kalsel terbagi dalam beberapa kelompok besar. Mereka mendiami pegunungan antara lain di wilayah hulu sungai dan daerah yang berbatasan dengan Kalteng. Dari sekian banyak masyarakat Dayak di wilayah Banua Lima, salah satunya adalah Dayak Pitap. Kelompok ini tersebar pada daerah pegunungan di Kecamatan Awayan.
Keberadaan masyarakat Dayak Pitap tidak lepas dari masyarakat Dayak lainnya di wilayah hulu sungai atau yang biasa disebut Banua Lima.
Dari namanya, Pitap adalah nama wilayah pegunungan di Kecamatan Awayan Kabupaten Balangan. Nama tersebut diambil dari nama seorang datuk kepala adat di pegunungan Awayan. Sebutan Pitap telah ada sebelum hadirnya bangsawan Keling atau yang biasa disebut Empu Jatmika.
Konon Empu Jatmika dikenal sebagai pendiri Negara Dipa di bumi Kahuripan Batang Balangan yang dulu termasuk dalam wilayah Kabupaten Hulu Sungai Utara.
Pada waktu itu, pasukan Empu Jatmika berkunjung ke wilayah Dayak Pitap. Datuk Dayak Pitap menyambut dengan baik kedatangan pasukan tersebut dan menyatakan bersedia untuk bergabung dengan wilayah Negara Dipa.
Budaya adat istiadat masyarakat Dayak Pitap dipimpin oleh seorang datuk yang berfungsi sebagai kepala adat. Pada umumnya, mata pencaharian masyarakat adat Dayak Pitap bercocok tanam.
Meskipun terkenal sebagai peladang berpindah, hal tersebut dimaksudkan untuk menjaga kesuburan lahan pertanian. Antara warga yang satu dengan yang lainnya hidup dengan rukun, tanpa ada suatu pertentangan.
Bahkan terbentuknya berbagai daerah di Banua Lima juga berasal dari leluhur Dayak Pitap. Konon, sewaktu makan buah padi yang diselingi dengan makanan buah jelai yang dibakar, datuk kepala adat yang bernama Datuk Mahdanio mengumpulkan empat datuk keturunannya.
Kelima datuk tersebut berkumpul di Gunung Canting Langit (berada di wilayah Desa Nungka). Datuk Mahdanio memberikan petuah sebelum meninggal dunia.
Petuah Datuk Mahdanio berupa pertanyaan yang mempunyai makna;
Siapa yang ingin mewarisi keberanianku maka akan kuhajatkan pada sang pencipta. Secara cepat pertanyaan disahut oleh Datuk Hamandit. “Aku yang turun ke Batang Hamandit (sekarang kabupaten Hulu Sungai Selatan).”
Siapa yang ingin mewarisi kepintaranku untuk memimpin, akan kuhajatkan pada sang pencipta. Secara cepat pertanyaan disahut oleh Datuk Balangan, “Aku yang akan turun ke Batang Balangan (sekarang kabupaten Balangan).”
Siapa yang ingin mewarisi keafiatanku akan kuhajatkan kepada sang pencipta. Secara cepat disahut oleh Datuk Alai, “Aku yang turun ke Batang Alai (sekarang kabupaten Hulu Sungai Tengah).
Siapa yang ingin mewarisi tuahku, maka akan kuhajatkan kepada sang pencipta. Secara cepat disahut Datuk Bolanang Alai, “Aku yang turun ke Batang Alai Selatan (sekarang kabupaten Tapin).
Sebelum mengakhiri petuahnya, Datuk Mahdanio sambil mengunyah sirih mengungkapkan nasehat lima kunci kehidupan, yakni bersikap jujur, hidup rukun, menghargai orang lain, berprasangka baik dan berani karena benar.
Hingga akhirnya, keempat datuk turunan Datuk Mahdanio tersebut turun dari wilayah Dayak Pitap menuju berbagai penjuru. Dan selanjutnya memulai kehidupan di daerah baru tersebut, sehingga terbentuklah daerah-daerah yang ada di Banua Lima.

Jumat, 30 Juli 2010

Datu Taniran dan Datu Balimau Kandangan, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan

Datu Ahmad Balimau Kandangan

Tugas dakwah tidaklah mengenal waktu dan tempat. Dari sekian banyak keturunan Datu Kalampayan yang berdakwah ke luar daerah, tersebutlah nama 'Alimul 'Allamah Haji Ahmad bin 'Alimul 'Allamah Mufti Haji Muhammad As'ad. Beliau adalah seorang yang sempat mendulang dan mendapat ilmu dari Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari datu beliau dan dari ayah beliau yang merupakan seorang mufti, seorang yang berilmu lagi mengamalkan ilmunya, rendah hati, pemurah, penyabar, disegani, berpantang dgn yang syubhat (wara), lagi berani menegakkan kebenaran dan membasmi kebatilan.

Beliau mendapat tugas untuk menyebarkan ajaran agama islam di daerah Balimau. Dengan ilmu yang beliau miliki dari hasil belajar dengan datu beliau yang berpengetahuan luas, beliau melakukan dakwah. Setiap kali beliau menyampaikan pengajian selalu disambut dengan penuh suka cita oleh murid beliau serta masyarakat daerah Balimau.

Sekarang makam Datu Ahmad Balimau termasuk dalam daftar obyek wisata religius untuk Kabupaten Hulu Sungai Selatan Kandangan.

Datu Sa'duddin Taniran Kandangan

Almarhum yang dimakamkan di Kubah Taniran ini bernama Haji Muhammad Thaib yang bergelar Haji Sa'duddin bin Haji Muhammad As'ad bin Puan Syarifah binti Al-'Alimul Allamah Syekh Haji Muhammad Arsyad Al-Banjari.

Sejak kecil beliau telah mendapat pendidikan langsung dari ayah beliau sendiri yaitu 'Alimul Allamah Haji Muhammad As'ad, yang pada ketika itu menjabat sebagai mufti Kerajaan Banjar. Beliau berhijrah dan menetap di Kampung Taniran adalah untuk menjadikan kampung tersebut tempat untuk mengajar dan sebagai pusat atau basis penyiaran agama islam untuk daerah Hulu Sungai atau Banua Lima.

lebih kurang 45 Tahun guru besar ini mencurahkann hidupnya untuk tegaknya agama islam di bumi antaludin kandangan, setelah berhasil mencetak ulama-ulama penerus yang tersebar di sekitar hulu sungai tempo dulu, maka pada tanggal 5 Shafar 1278 H atau sekitar 1858 M, beliau berpulang ke Rahmatullah dalam usia lebih dari 1000 bulan atau sekitar 84 tahun.

Selamat Sejahtera atas seorang hamba yang yang baik sejak ia dilahirkan hingga ia wafat dan ketika nanti ia dibangkitkan kembali.

Datu Hamawang Kandangan, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan

Datu Hamawang atau Datu Bungkul bergelar Tumenggung Raksa Yuda atau Pangeran Kecil, dan gelar Datu Hamawang inilah yang lebih dikenal.

Datu Hamawang selain orang yang sakti mandraguna, beliau juga sebagai seorang pahlawan dan sebagai seorang ulama panutan yang sangat disegani dan dihormati oleh masyarakat, sehingga segala keputusan yang akan dilaksanakan di daerah tersebut terlebih dahulu meminta saran dan pendapat bahkan persetujuan beliau. Menurut penuturan orang-orang tua, yang mula-mula memeluk agama islam di daerah ini adalah Datu Hamawang, kemudian beliau menyebarkan agama islam dan membangun sebuah mesjid di hamawang (mesjid Quba) di bantu oleh Datu Ulin dan Datu Basuhud yang akhirnya kawin dengan adik Datu Hamawang yang bernama Datu Salayan.

Menurut cerita, Datu Hamawang adalah orang yang dikaruniai umur yang panjang, umur beliau mencapai 300 tahun.

Datu Hamawang mempunyai 4 orang bersaudara:

1. Datu Balimbur. Beliau juga disebut Datu Kurungan, karena beliau memelihara buaya putih dalam kurungan, konon ketika Pangeran Suriansyah mendirikan istana kerajaan (sekarang lokasi Mesjid Kuin), buaya putih ini ikut juga membantunya. Terakhir beliau bermukim di daerah Barito. Zuriyat beliau adalah Garuntung Manau dan Garuntung Waluh, suku Dayak Biaju Hampatung. Sekarang zuriyat beliau ada di Hamawang, Sungai Kudung, Telaga Langsat, Lumpangi dan Daerah Barito.

2. Datu Hamawang atau Datu Bungkul. Zuriyat beliau sekarang ada di Hamawang, Sungai Raya, Sungai Kali, Sarang Halang, Pagar Haur, Malutu dan Sungai Kudung.

3. Datu Tambunau atau TUMENGGUNG ANTALUDIN. Zuriyat beliau adalah Pambalah Batung dan Datu Dambung, dan sekarang zuriyat beliau ini ada di sekitar Sungai Kudung, Madang, Padang Batung, Kaliring, Hamawang, Sungai Gula, Puruk Cahu, Sumatera dan daerah Pegunungan Meratus (Gunung Panginangan Ratu dan Cantung). Datu Tambunau terkenal sebagai pejuang yang sakti mandraguna, pantang menyerah terhadap penjajah Belanda. Konon beliau mempunyai baju layang yang bisa digunakan sebagai sayap untuk terbang. Setelah peperangan melawan Belanda (Perang Gunung Madang) selesai, beliau bertapa di Gunung Panginangan Ratu. Dari nama beliau itulahlah akhirnya Kandangan di namakan BUMI ANTALUDIN, karena beliau dengan gagah berani mempertahankan Kandangan dari penjajah Belanda di benteng madang.

4. Datu Salayan (Ratu Ibuk) bergelar Ratu Komala Sari atau Ratu Mayang Sari, yang kemudian kawin dengan Datu Basuhud. Mereka akhirnya menetap di Alai Barabai. Zuriyat beliau sekarang ada di Hamawang, Sungai Kudung, Banyu Barau, Gambah, Alai (Barabai) dan Malaysia.

Cerita Rakyat Lok Si Naga Lok Lua, Kandangan, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan

Dahulu kala ada sebuah keluarga nelayan mempunyai seorang anak laki-laki. Bila mereka pergi bekerja, anaknya tinggal di rumah untuk menjaga rumah.

Pada suatu hari suami-isti nelayan itu memasuki alat penangkap ikan mereka yang berupa tangguk besar. Sial, seekor pun tidak ada yang masuk. Meskipun demikian mereka tidak putus asa. Tangguk tetap dimasukkan dan diangkat berulang-ulang tanpa mengenal lelah. Akhirnya, ketekunan meeka berhasil juga. Pada waktu mereka mengangkat tanggukmereka untuk kesekian kalinya, ternyata di dalamnya terdapat sebutir telur yang sangat besar. Karena ngeri benda ajaib itu, telur itu segera mereka masukkan kembali ke dalam air. Anehnya, setiap kali mereka mengangkat tangguknya, setiap kali ada pula telur itu dan setiap kali segera mereka masukkan kembali ke dalam air. Keadaan ini berulang terus, walaupun telah mereka pindahkan tangguk mereka ke tempat lain. Rupanya telur itu berkeras hati untuk tetap bersama mereka. Akhirnya, karena putus asa telur itu pun dibawa pulang.

Sesampainya di rumah, anak kesayangan mereka sedang tidur pulas. Karena tidak mendapatkan ikan, maka telur itu pun direbusnya. Setelah matang, telur itu mereka makan sebagai lauk teman nasi.

Begitu perut mereka kenyang, timbullah suatu keajaiban. Kedua suami istri itu perlahan-lahan berganti rupa menjadi dua ekor naga yang besar. Keajaiban ini tidak menimpa putra mereka karena ia belum sempat memakan telur itu.

Setelah terjaga dari tidurnya, anak itu pun menjadi ketakutan sewaktu melihat keadaan orang tuanya. Ia pun menangis karena sedih. Melihat itu, kedua naga itu segera menjilati pipi putra merekayang sangat mereka kasihi itu. Setelah anaknya tenang, ayahnya menasehati, agar tidak mekan telur di atas dulang. Telur itu adalah telur naga putih yang hidup di sungai tempat mereka sering mencari ikan dan siapa saja yang memakan telur itu akan menjadi naga seperti mereka. Setelah meninggalkan pesan itu, kedua naga itu pun terjun ke dalam sungai untuk bertempur dengan naga putih yang telah mengubah wujud mereka.

Dua pesan lainnya mereka berikan juga pada putranya. Apabila timbul darah mereh pada sungai, itu berarti mereka kalah. Namun, bila timbul darah putih, itu berarti naga putihlah yang kalah. Tanda hasil pergulatan itu akan terlihat apabila hujan turun rintik-rintik pada hari panas dan timbul pelangi di antara langit dan bumi.

Setelah orang tuanya masuk ke dalam sungai, anak itu duduk termenung. Ia terlalu kecil untuk menghadapi kenyataan hidup seperti itu. Setiap hari ia memandangi air sungai. Berharap agar kedua orang tuanya muncul lagi. Hingga pada suatu hari hujan turun rintik-rintik, di langit ada pelangi berwarna-warni, pada saat itulah air sungai mentembulkan warna putih seperti susu. Anak itu yakin sekarang kalau kedua orang tuanya telah memenangkanpertempuran denga si naga putih.

Namun, ayah dan ibunya tk pernah kembali ke rumah lagi. Anak itu menunggu di tepi sungai dan terus menunggu hingga akhir hayatnya ia memang tidak dapat hidup sendiri tanpa orang tuanya.

Tempat kejadian cerita ini sekarang disebut Lok Si Naga atau Lok Lua artinya Sungai Naga.