KALIMANTAN
Dalam Kitab Negarakertagama Pulau Kalimantan disebut sebagai ” Tanjungpura” meliputi daerah :
* Kapuas-Katingan
* Sampit
* Kuta Lingga
* Kuta Waringin (Kotawaringin)
* Sambas
* Lawai
* Kandangan
* Landa
* Samadang
* Tirem
* Sedu (Serawak)
* Barune (Brunei)
* Kalka
* Saludung
* Solot (Kepulauan Sulu)
* Pasir
* Barito
* Sawaku
* Tabalung (Tabalong)
* Tanjungkutei (Kutai Karatanagara)
* Malano (masyarakat Melanau di Serawak dan Kalimantan Barat)
ISLAM BANJAR HULU
Sangat mungkin sekali pemeluk Islam sudah ada sebelumnya di sekitar keraton yang dibangun di Banjarmasin, tetapi pengislaman secara massal diduga terjadi setelah raja, Pangeran Samudera yang kemudian dilantik menjadi Sultan Suriansyah, memeluk Islam diikuti warga kerabatnya, yaitu bubuhan raja-raja. Perilaku raja ini diikuti elit ibukota, masing-masing tentu menjumpai penduduk yang lebih asli, yaitu suku Dayak Bukit, yang dahulu diperkirakan mendiami lembah-lembah sungai yang sama. Dengan memperhatikan bahasa yang dikembangkannya, suku Dayak Bukit adalah satu asal usul dengan cikal bakal suku Banjar, yaitu sama-sama berasal dari Sumatera atau sekitarnya, tetapi mereka lebih dahulu menetap. Kedua kelompok masyarakat Melayu ini memang hidup bertetangga tetapi, setidak-tidaknya pada masa permulaan, pada asasnya tidak berbaur. Jadi, meskipun kelompok Suku Banjar (Pahuluan) membangun pemukiman di suatu tempat, yang mungkin tidak terlalu jauh letaknya dari balai suku Dayak Bukit, namun masing-masing merupakan kelompok yang berdiri sendiri. Untuk kepentingan keamanan, dan atau karena memang ada ikatan kekerabatan, cikal bakal suku Banjar membentuk komplek pemukiman tersendiri. Komplek pemukiman cikal bakal suku Banjar (Pahuluan) yang pertama ini merupakan komplek pemukiman bubuhan, yang pada mulanya terdiri dari seorang tokoh yang berwibawa sebagai kepalanya, dan warga kerabatnya, dan mungkin ditambah dengan keluarga-keluarga lain yang bergabung dengannya. Model yang sama atau hampir sama juga terdapat pada masyarakat balai di kalangan masyarakat Dayak Bukit, yang pada asasnya masih berlaku sampai sekarang. Daerah lembah sungai-sungai yang berhulu di Pegunungan Meratus ini nampaknya wilayah pemukiman pertama masyarakat Banjar, dan di daerah inilah konsentrasi penduduk yang banyak sejak zaman kuno, dan daerah inilah yang dinamakan Pahuluan. Apa yang dikemukakan di atas menggambarkan terbentuknya masyarakat (Banjar) Pahuluan, yang tentu saja dengan kemungkinan adanya unsur Dayak Bukit ikut membentuknya.
PERANG BANJAR
Penyerangan terhadap Benteng Oranje Nassau merupakan rentetan, titik kulminasi, dan kesatuan gerak, kesamaan maksud, serta kesamaan tujuan dari berbagai gerakan perlawanan rakyat Banjar yang telah dilakukan sebelumnya. Seperti gerakan rakyat di Banua Lima yang dipimpin oleh Tumenggung Jalil, gerakan rakyat di Muning (Rantau) dipimpin oleh Datu Aling, gerakan rakyat daerah Batang Hamandit (Perang Gunung Madang) yang dipimpin oleh Tumenggung Antaluddin (Kandangan), gerakan rakyat daerah Tanah Laut dan Riam dipimpin Demang Lehman (bergelar Kiai Adipati Mangku Negara) dan H. Buyasin (H. Muhammad Yasin), gerakan rakyat daerah Barito, Kapuas, dan Kahayan dipimpin oleh Tumenggung Surapati (bergelar Kiai Temenggung Pati Jaya Raja), dan lain-lain. Karena, keikutcampuran dan keinginan Belanda untuk menguasai Tanah Banjar yang kaya dengan hasil bumi dan tambang bumi dengan monopoli dan kolonisasinya, namun tidak berhasil. Belanda baru berhasil menguasai Tanah Banjar setelah dihapuskannya Kerajaan Banjar secara resmi pada Juni 1860. Konsekuensi penghapusan dan sifat penjajahan Belanda adalah tumbuhnya perlawanan dan perjuangan masyarakat Banjar yang tersebar luas diberbagai daerah untuk merebut dan mempertahankan kedaulatan mereka.
Moral agama memiliki peran yang penting untuk mendorong semangat perlawanan masyarakat Banjar terhadap Belanda, sebagaimana yang terlihat pada:
(1) Gelar yang diberikan kepada P. Antasari, yakni Panembahan Amiruddin Khalifatul Mu’minin yang bercorak keagamaan dan mengandung arti sebagai pembela agama;
(2) Pemberontakan pertama terhadap Sultan Tamjidillah II yang terjadi daerah Amuntai di pusatkan di masjid Batang Balangan;
(3) Perjuangan Datu Aling di daerah Muning Rantau (Maret 1859) menggunakan pendekatan keagamaan untuk menarik dan memotivasi semangat juang rakyat, dan menjadikan masjid pula sebagai sentral perjuangan mereka;
(4) Perjuangan oleh rakyat daerah Amuntai dan sekitarnya bulan Oktober (1861) dipimpin oleh Penghulu Abdul Rasyid juga dimotivasi oleh semangat keagamaan, bahkan dikenal sebagai peristiwa Baratib Beamal. Ataupula pecahnya peristiwa Perang Amuk Hantarukung tahun (1899) di Kandangan yang dipelopori dua bersaudara Bukhari dan Santar murid Gusti Mat Seman yang rajin mengamalkan zikir dan wirid, serta meneriakan pekik Allahu Akbar dalam perjuangan mereka;
(5) Tampilnya kalangan ulama di garda depan perjuangan seperti Penghulu Abdul Rasyid, Buhasin, Abdul Gani, Penghulu (Banua Lima), Haji Buyasin (Pelaihari), Gusti Mat Seman (Barito), dan lain-lain yang memberikan semangat, komando, dan nilai-nilai perjuangan Islam.
ADAT HSS
Sudah jadi tradisi masyarakat Kandangan, Hulu Sungai Selatan (HSS) Kalimantan Selatan, apabila pergi selalu ada membawa senjata, biasanya untuk jaga diri dengan senantiasa menyelipkan senjata tajam bila keluar rumah. Budaya sajam (senjata tajam) dan aksi premanisme bagi anak-anak yang baru beranjak dewasa dengan tabiat selalu membawa senjata tajamnya di pinggang mereka dan memungkinkan apabila terjadi perkelahian satu sama lain yang selalu berbuntut dengan kematian. Dalam lingkungan orang dewasa pun masih terdapat adanya figur seperti itu , hanya saja emosi yang tertanam padanya digunakan didalam porsi yang berbeda dikarenakan budaya daerah setempat yang sudah menjadi tradisi dan berakar kuat turut mempengaruhi lingkungan masyarakat Kandangan. Orang Kandangan juga dikenal memiliki sikap dan pendirian yang keras, tingkat solidaritas, kekerabatan, sosial kemasyarakatan dan kekeluargaan mereka sangat tinggi sehingga membawa senjata tajam dianggap sebagai suatu perilaku yang lumrah dan merupakan budaya masyarakat setempat karena sebagai patokan harga diri yang sangat tinggi dan sikap protektif terhadap keluarga. Bila ada keluarga atau kawan yang diganggu orang, mereka siap tampil untuk membela.
Bagi orang yang baru pertama ke Kota Kandangan, akan mengira orang-orang di kota ini pemarah semua, karena gaya dan alunan bicara mereka yang keras dan nyaring. Bila kedaerah pedesaannya, lebih mengerikan lagi. Karena masyarakat pedesaan di kota ini senantiasa menyelipkan senjata tajam bila keluar rumah. Letak geografis dan pola hidup yang keras pada masyarakat Kandangan itu akhirnya membentuk pola dan tatanan hidup orang Kandangan yang harus disesuaikan dengan kondisi alam. Hal tersebut berpengaruh langsung pada pola mata pencarian, yaitu berkebun, berhuma dan berburu. Pola itu akhirnya mengharuskan masyarakat Kandangan senantiasa berlaku protektif dengan membekali diri dengan senjata tajam. Pola hidup berburu dan berkebun pada orang Kandangan, menjadikan kehidupan mereka kental dengan budaya membawa sajam (senjata tajam), dalam hal ini belati. Namun penggunaan belati disini, lebih merujuk kepada upaya untuk survive atau bertahan, karena kondisi alam yang keras. Menurut orang Kandangan, belati adalah teman. Bila tidak membawa belati seakan tidak berteman. Karena menurut keyakinan mereka, hanya belati yang mampu melindungi bila sesuatu terjadi. Sedang kawan bisa saja lari.
Bagi masyarakat Kandangan sangat mudah mendapatkan senjata tajam karena kerajinan pandai besi yang tumbuh dengan banyaknya di Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Seperti di Nagara kerajinan membuat parang, mandau, samurai maupun belati diproduksi di sana. Bagi masyarakat Kandangan senjata tajam tidak hanya sekedar alat untuk aktivitas sehari-hari tetapi juga dijadikan souvenir dan bahan pajangan di rumah. Senjata tajam di Hulu Sungai Selatan merupakan perpaduan lintas kecamatan. Besi yang dibuat ialah buatan orang Nagara. Lalu kayu untuk kumpang (sarung) didatangkan dari Kecamatan Loksado, dan yang mendesain kumpang, supaya lebih terlihat menarik, adalah hasil tangan masyarakat di Desa Sarang Halang, Kecamatan Sungai Raya Hulu Sungai Selatan. Nagara yang hingga kini memiliki kemampuan membuat senjata, yang konon ceritanya didaerah itu adalah bekas tentara Majapahit yang tertinggal dan tidak pulang ke negara asalnya dan berasimilasi dengan orang – orang Nansarunai pasca pertempuran besar antara Kerajaan Majapahit – Kerajaan Nansarunai.
TUMENGGUNG
Tumenggung adalah gelar bagi Kepala Daerah (Kepala Distrik) di Jawa dan Kalimantan. Seorang Tumenggung seringkali juga merupakan seorang Kepala Suku di wilayahnya yang biasanya merupakan suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan gelar Kiai Tumenggung. Seorang bangsawan seringkali juga menjabat sebagai kepala daerah sehingga namanya menjadi Raden Tumenggung atau Pangeran Tumenggung. Sampai sekarang gelar Tumenggung masih dipakai sebagai gelar Kepala Suku Dayak di Kalimantan Tengah, yang membawahi beberapa Demang Kepala Adat (kademangan).
Beberapa tokoh yang memakai gelar Tumenggung :
* Tumenggung Surapati, pejuang Perang Banjar di daerah Barito (Perang Barito)
* Tumenggung Jalil (Tumenggung Macan Negara), pejuang Perang Banjar.
* Tumenggung Cakrawati, tokoh pejuang wanita dalam Perang Banjar pengikut Pangeran Antasari berasal dari distrik Riam Kanan, selalu berpakaian laki-laki.
* Tumenggung Antaludin, tokoh pejuang dalam Perang Banjar di distrik Amandit Kandangan.
* Tumenggung Jayakarti, tokoh suku Dayak Maanyan yang diangkat Belanda sebagai kepala Distrik Dusun Timur.
TOKOH SEJARAH BANJAR
Nama-nama seperti Lambung Mangkurat, Sultan Suriansyah, Sultan Adam, Pangeran Hidayatullah, Pangeran Antasari, Gusti Muhammad Seman, agaknya sudah sangat familiar kita dengar.
Selain itu juga ada nama-nama semisal, Panglima Bukhari salah seorang pejuang Perang Banjar yang memimpin perlawanan rakyat yang disebut Perang Amuk Hantarukung. Ada Ratu Zaleha tokoh emansipasi wanita di Kalimantan, Demang Lehman, Tumenggung Jalil, panglima perang dalam Perang Banjar dengan basis pertahanan di Banua Lima, pedalaman Kalsel, Penghulu Rasyid, seorang ulama yang bangkit bergerak berjuang mengangkat senjata melawan penjajah Belanda, Tumenggung Antaludin, Panglima Perang dalam Perang Banjar dengan pusat perjuangan di kawasan Gunung Madang di kabupaten HSS, Aluh Idut, pejuang perintis kemerdekaan, perempuan perintis organisasi perempuan Kandangan, Kalsel, dan Panglima Batur seorang panglima suku Dayak dalam Perang Banjar yang berlangsung di pedalaman Barito.
Ada lagi P.M. Noor, pencetus pembuatan proyek Sungai Barito yang salah satu gagasannya adalah pembangunan PLTA Riam Kanan. Dr. Murjani, Syamsuddin Noor, Anang Adenansi, Anshari Saleh, Aberani Sulaiman, Budhigawis, H. Damanhuri, atau Hasanudin HM., pahlawan Ampera pertama Kalsel.
Dari sederet nama pahlawan nasional yang tertera ada dua orang pahlawan nasional yang berasal dari Banjarmasin, yaitu Pangeran Antasari dan Brigjen Hasan Basery. Pangeran Antasari dan Brigjen Hasan Basery merupakan dua tokoh emperik dan hero yang hidupnya berbeda masa akan tetapi memiliki kesamaan, yaitu pelawan terhadap penjajah. Semboyan “Waja Sampai Kaputing” terus memberi semangat kepada seluruh generasi muda di banua agar tetap berkarya dalam bidang apapun yang digeluti.
HULU SUNGAI
Eks Kabupaten Hulu Sungai atau Banjar Hulu adalah wilayah di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Negara (sungai Bahan) di provinsi Kalimantan Selatan. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, wilayah ini merupakan Afdeeling Oloe Soengai yang beribukota di Kandangan (sekarang ibukota Hulu Sungai Selatan). Wilayah Hulu Sungai sekarang terdiri 6 kabupaten yaitu Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Balangan, Tabalong dan Tapin. Sekarang ini wilayah ini disebut juga Banua Enam artinya wilayah yang terdiri dari 6 daerah (kabupaten).
Pada masa Kerajaan Banjar wilayah Hulu Sungai terdiri 2 daerah provinsinya yaitu Banua Ampat dan Banua Lima. Banua Ampat artinya provinsi yang terdiri 4 lalawangan (distrik), sedangkan Banua Lima artinya provinsi yang terdiri 5 lalawangan (distrik). Banua Lima pada masa pemerintahan Sultan Adam Alwazikoebillah dipimpin oleh Kyai Adipati Danoe Radja, iparnya sendiri yaitu saudara dari Nyai Ratu Komalasari, permaisuri Sultan Adam. Setiap lalawangan dipimpin oleh pejabat yang bergelar Kyai Tumenggung.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar